Nama : Ririn Zuliyaningsih
NPM : 29214475
Kelas : 1EB21
Tugas Softskill : Perekonomian Indonesia
NPM : 29214475
Kelas : 1EB21
Tugas Softskill : Perekonomian Indonesia
BAB V
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN
1. Konsep
& Pengertian Kemiskinan
Konsep
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan
masalah sosial yang senantiasa hadir ditengah masyarakat. Kemiskinan sebagai
fenomena sosial yang telah lama ada, berkembang sejalan dengan peradaban manusia.
Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas
aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga sering kali makin tertinggal jauh
dari masyarakat lain yang memiliki potensi tinggi. Substansi kemiskinan adalah
kondisi deprevasi tehadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa
sandang, pangan, papan, dan pendidikan dasar (Sudibyo, 1995:11).
Kemiskinan juga sering
disandingkan dengan kesenjangan, karena masalah kesenjangan mempunyai kaitan
erat dengan masalah kemiskinan. Substansi kesenjangan adalah ketidakmerataan
akses terhadap sumber daya ekonomi. Sudibyo (1995:11) mengatakan bahwa “apabila
berbicara mengenai kemiskinan maka kemiskinan dinilai secara mutlak, sedangkan
penilaian terhadap kesenjangan digunakan secara relatif”. Dalam suatu
masyarakat mungkin tidak ada yang miskin, tapi kesenjangan masih dapat terjadi
di dalam masyarakat tersebut.
Pengertian
Kemiskinan
Secara
etimologis “kemiskinan” berasal dari kata “miskin” yang artinya tidak berharta
benda dan serba kekurangan. Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik,
mendefinisikan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar
minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos,2002).
Secara umum definisi tentang kemiskinan menggambarkan
kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau suatu keluarga berada dalam keadaan
kekurangan dan atau ketidaklayakan hidup menurut standar-standar tertentu,
ketidakmampuan atau keterbatasan fisik manusia, ketiadaan atau kekurangan akses
dalam memperoleh pelayanan minimal dalam berbagai bidang kehidupan, serta sulit
atau kurang memperoleh akses dalam proses-proses pengambilan kebijakan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya
mencakup:
a. Gambaran kekurangan materi, yang
biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan
pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi
kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
b. Gambaran tentang kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan,
karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi
pada bidang ekonomi.
c. Gambaran tentang kurangnya
penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat
berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
2.
Garis
Kemiskinan
Garis kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkat minimum pendapatan yang dianggap perlu
dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi
di suatu negara. Dalam praktiknya, pemahaman resmi atau umum masyarakat
mengenai garis kemiskinan (dan juga definisi kemiskinan)
lebih tinggi di negara maju daripada di negara berkembang.
Hampir setiap
masyarakat memiliki rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Garis kemiskinan
berguna sebagai perangkat ekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur rakyat
miskin dan mempertimbangkan pembaharuan sosio-ekonomi, misalnya seperti program
peningkatan kesejahteraan dan asuransi pengangguran untuk menanggulangi
kemiskinan.
Kemiskinan menurut pendapat umum
dapat dikategorikan ke dalam 3 kelompok, yaitu :
a.
Kemiskinan yang disebabkan aspek
badaniah atau mental seseorang.
Pada aspek badaniah, biasanya orang tersebut tidak bisa
berbuat maksimal sebagaimana manusia lainnya yang sehat jasmani. Sedangkan
aspek mental, biasanya mereka disifati oleh sifat malas bekerja dan berusaha
secara wajar, sebagaimana manusia lainnya.
b.
Kemiskinan yang disebabkan oleh
bencana alam.
Biasanya pihak pemerintah menempuh dua cara, yaitu memberi
pertolongan sementara dengan bantuan secukupnya dan mentransmigrasikan ke
tempat hidup yang lebih layak.
c.
Kemiskinan buatan atau kemiskinan
struktural.
Selain disebabkan oleh keadaan pasrah pada kemiskinan dan
memandangnya sebagai nasib dan takdir Tuhan, juga karena struktur ekonomi,
sosial dan politik.
3.
Penyebab
dan Dampak Kemiskinan
Penyebab Kemiskinan
Pada umumnya di negara Indonesia penyebab-penyebab kemiskinan adalah
sebagai berikut:
a. Laju Pertumbuhan Penduduk.
Pertumbuhan
penduduk Indonesia terus meningkat di setiap 10 tahun menurut hasil sensus
penduduk. Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk
dengan keadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak
sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah
dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk
hidup di bawah garis kemiskinan.
b. Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran.
Secara garis
besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan
tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja ialah penduduk yang berumur
didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap negara yang
satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah
minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap orang atau
semua penduduk kesenjangan dikatakan lunak, distribusi
pendapatan nasional dikatakan cukup merata.
c. Tingkat pendidikan yang rendah.
Rendahnya
kualitas penduduk juga merupakan salah satu penyebab kemiskinan di suatu
negara. Ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat
pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanya perkembangan ekonomi terutama industry,
jelas sekali dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang mempunyai skill atau
paling tidak dapat membaca dan menulis.
d. Kurangnya perhatian dari pemerintah.
Pemerintah
yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat miskin dapat menjadi
salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak dapat memutuskan kebijakan yang
mampu mengendalikan tingkat kemiskinan di negaranya.
e. Bencana
Alam
Banjir, tanah longsor, gunung meletus,
dan tsunami menyebabkan gagalnya panen para petani, sehingga tidak ada bahan
makanan untuk dikonsumsi dan dijual kepada penadah atau koperasi. Kesulitan
bahan makanan dan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak dapat
terpenuhi.
Dampak
Kemiskinan
Di bawah ini adalah dampak dari
bahaya kemiskinan yang apabila di biarkan bisa membuat hidup hidup jadi tidak
nyaman damai dan tentram.
a. Berkurangnya
rasa nasionalisme terhadap suatu Negara, di karenakan lebih memikirkan
kebutuhan untuk bertahan hidup saja kesulitan apalagi memikirkan rasa cinta
pada Negara.
b. Banyak
terjadinya tindak kejahatan di mana mana , di karenakan masih banyaknya
masyarakat yang berpikiran pendek dalam memenuhi kebutuhan hidup dan sudah
terlalu terdesak dengan kebutuhan tanpa di bekali iman dalam agama sehingga
segala cara pun di lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
c. Harga
diri suatu Negara yang jatuh dimata dunia dan akan diremehkan dan di anggap
sumber daya manusianya tidak punya potensi untuk maju dan hanya mengandalkan
bantuan dan bantuan.
d. Semakin
tidak terurusnya generasi muda oleh orang tua dan terlepas begitu saja dari
pendidikan dan pengawasan orang tua sehingga menumbuhkan generasi muda yang
tidak mengindahkan akan budaya ketimuran.
e. Hilangnya
rasa kegotong royongan dan saling membantu di karenakan sudah menjamurnya
budaya loe ya loe guwe ya guwe sehingga menimbulkan kurangnya rasa persatuan di
suatu Negara.
f. Timbul
banyak nya penyakit di mana mana baik itu penyakit menular sex ataupun penyakin
yang di sebabkan karena tempat yang kumuh atau makanan yang di konsumsi tidak
sehat .
g. Semakin
drastis berkurangnya belajar agama atau keyakinan pada Tuhan di karenakan lebih
pada memikirkan kebutuhan yang utama yaitu makan.
h. Semakin
terpuruknya ekonomi bangsa yang akan mengakibatkan kehancuran suatu bangsa,
akibat ingin memisahkan diri dari wilayah kesatuan tanah air.
i.
Lahirnya sebuah kelompok masyarakat yang
begitu pandai,dahsyat dan kreatif melahirlan suatu yang baru dan canggih akibat
terhimpit ekonomi dan terjadinya revolusi masal dan terpecah belahnya suatu
Negara menjadi Negara Negara kecil.
4.
Pertumbuhan
Kesenjangan dan Kemiskinan
Hubungan antara tingkat kesenjangan pendapatan
dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan Kuznet Hypothesis. Hipotesis
ini berawal dari pertumbuhan ekonomi (berasal dari tingkat pendapatan yang
rendah berasosiasi dalam suatu masyarakat agraris pada tingkat awal) yang pada
mulanya menaik pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah hingga pada suatu
tingkat pertumbuhan tertentu selanjutnya kembali menurun. Indikasi yang
digambarkan oleh Kuznet didasarkan pada riset dengan menggunakan data time
series terhadap indikator kesenjangan Negara Inggris, Jerman, dan Amerika
Serikat.
Pemikiran tentang mekanisme yang terjadi pada
phenomena “Kuznet” bermula dari transfer yang berasal dari sektor tenaga kerja
dengan produktivitas rendah (dan tingkat kesenjangan pendapatannya rendah), ke
sektor yang mempunyai produktivitas tinggi (dan tingkat kesenjangan menengah).
Dengan adanya kesenjangan antar sektor maka secara subtansial dapat menaikan
kesenjangan diantara tenaga kerja yang bekerja pada masing-masing sektor
(Ferreira, 1999, 4).
Versi dinamis dari Kuznet Hypothesis, menyebutkan
kan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun (dasawarsa)
memberikan indikasi naiknya tingkat kesenjangan pendapatan dengan memperhatikan
initial level of income (Deininger & Squire, 1996). Periode pertumbuhan
ekonomi yang hampir merata sering berasosiasi dengan kenaikan kesenjangan
pendapatan yang menurun.
5.
Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Indikator
Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mengukur
tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua
kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering
digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan
tiga alat ukur, yaitu the Generalized Entropy(GE), ukuran Atkinson ,dan
Koefisien Gini.
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini.
Nilai koefisien gini berada pada selang 0-1. Bila 0 : kemerataan sempurna
(setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) Bila 1 : ketidak
merataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Ide dasar dari
perhitungan koefisien gini berasal dari Kurva Lorenz. Semakin tinggi
nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis
45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi
pendapatan. Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai
koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan dikatakan tinggi
dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan dikatakan sedang dengan nilai
koefisien gini antara 0,36-0,49. Ketimpangan dikatakan rendah dengan
nilai koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selanjutnya, ketidak merataan pendapatan
diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan
pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidak
merataan dalam distribusi yaitu : Pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40%
penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari
jumlah pendapatan. Tingkat ketidak merataan sedang, apabila kelompok
tersebut menerima 12% sampai17%darijumlahpendapatan. Sedangkan ketidak merataan
rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari17% dari jumlah pendapatan.
Indikator
Kemiskinan
Karena adanya perbedaan lokasi dan standar
kebutuhan hidup batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara
berbeda-beda. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari
besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi
kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan
minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan
pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi
pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
6.
Kemiskinan di Indonesia
Perkembangan
tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa krisis
multidimensional yang terjadi pada periode 1997-1998 telah membalikkan
trend
penurunan kemiskinan dan menyebabkan angka kemiskinan melonjak hingga
mencapai
49,50 juta jiwa (atau 24,23%) pada tahun 1998.
Sebagaimana terlihat
dalam Grafik I : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
(1996-2012),secara bertahap angka kemiskinan terus menurun menjadi
35,10 juta atau 15,97% (2005), 32,53 juta atau 14,15% (2009), dan
padabulan September
2012 menjadi 28,59 juta jiwa atau 11,66% dari populasi penduduk. Angka
kemiskinan yang dilansir oleh BPS tersebut menggunakan nilai garis kemiskinan,
dimana penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, yaitu nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disetarakan dengan 2100
kilo kalori/kapita/haridan non makanan, yaitu perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Bila dicermati tingkat percepatan penurunannya, maka tampak dalam Tabel II:
Persebaran dan Perubahan Angka Kemiskinan di Indonesia (1996-2002) bahwa jumlah
penduduk miskin pada periode 2007-2009 berkurang di atas 2 juta jiwa setiap
tahunnya (atau di atas 1% per tahun). Namun demikian pada periode 2010-2012 tingkat
penurunan jumlah penduduk miskin berkurang menjadi antara 1,1-1,5 juta jiwa per
tahun (atau berkisar 0,7-0,9% per tahun). Permasalahan kemiskinan di Indonesia
dibayang-bayangi pula dengan keberadaan kelompok masyarakat “Hampir Miskin”
yang berada pada tingkatan sedikit di atas garis kemiskinan dan sangat rentan untuk
sewaktu-waktu masuk menjadi kelompok miskin apabila terjadi tekanan eksternal,
seperti kenaikan harga bahan pokok, kenaikan harga BBM dan listrik, pemutusan
hubungan kerja (PHK), konflik sosial maupun bencana alam.
7.
Faktor – Faktor Penyebab Kemiskinan
a.
Tingkat
pendidikan yang rendah
b.
Produktivitas
tenaga kerja rendah
c.
Tingkat
upah yang rendah
d.
Distribusi
pendapatan yang timpang
e.
Kesempatan
kerja yang kurang
f.
Kualitas
sumberdaya alam masih rendah
g.
Penggunaan
teknologi masih kurang
h.
Etos
kerja dan motivasi pekerja yang rendah
i.
Kultur/budaya
(tradisi)
j.
Politik
yang belum stabil
8.
Kebijakan Anti Kemiskinan
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air
diperlukan suatu strategi dan bentuk intervensi yang tepat, dalam arti cost
effectiveness-nya tinggi.
Ada tiga pilar utama strategi
pengurangan kemiskinan, yakni :
1. Pertumuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan yang prokemiskinan
2. Pemerintahan yang baik (good
governance)
3. Pembangunan sosial
Untuk mendukung strategi tersebut
diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau
tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :
a.
Intervensi jangka pendek, terutama
pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan
b. Intervensi jangka menengah dan
panjang (Pembangunan sektor swasta, Kerjasama regional, APBN dan administrasi, Desentralisasi,
Pendidikan dan Kesehatan, Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan)
Sumber Referensi :
https://lestarieb.wordpress.com/2011/04/22/pertumbuhan-kesenjangan-dan-kemiskinan/
https://andinurhasanah.wordpress.com/2012/11/08/kemiskinan-dan-kesenjangan/
https://andinurhasanah.wordpress.com/2012/11/08/kemiskinan-dan-kesenjangan/
http://melipajrianti.blogspot.com/2015/04/kebijakan-anti-kemiskinan.html
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6804
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6804
SOAL BAB V
1. Kondisi
deprevasi tehadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa sandang,
pangan, papan, dan pendidikan dasar disebut dengan …
a.
Konsep Kemiskinan
b.
Substansi Kemiskinan*
c.
Garis Kemiskinan
d.
Hirarkie Kemiskinan
2.
Kemiskinan
menurut pendapat umum dapat dikategorikan ke dalam kelompok, kecuali …
a. Kemiskinan yang disebabkan aspek
badaniah atau mental seseorang
b.
Kemiskinan yang disebabkan oleh
bencana alam.
c.
Kemiskinan buatan atau kemiskinan
struktural.
d. Kemiskinan
secara alami*
3.
Hal yang menjadikan laju pertumbuhan
penduduk sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah …
a. Usia
Produktif < Usia Non Produktif*
b. Usia
Produktif = Usia Non Produktif
c. Usia
Produktif > Usia Non Produktif
d. Usia
Non Produktif < Usia Produktif
4.
Koefisien Gini merupakan cara yang
sering digunakan dalam mengukur tingkat kesenjangan pendapatan. Apabila
selang 0 maka berarti …
a. Ketimpangan
dikatakan tinggi
b. Ketimpangan
dikatakan rendah
c. Pemerataan
tidak sempurna
d. Pemerataan
sempurna*
5.
Salah satu dampak yang terjadi akibat
kemiskinan yaitu …
a. Tingkat
upah yang rendah
b. Kesempatan
bekerja kurang
c. Meningkatnya
tindak kejahatan*
d. Tingkat
pendidikan yang tinggi
BAB VI
PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH &
OTONOMI DAERAH
1.
UU Otonomi Daerah
Sejak dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, posisi pemerintah daerah
semakin menguat dan sebaliknya dominasi pemerintah pusat mulai berkurang. Dalam
undang-undang tersebut diberikan penegasan tentang makna otonomi daerah pada
pasal 1 ayat (5) : bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mengenai kewenangan
daerah dipertegas lagi dalam pasal 10 ayat (1) bahwa pemerintah daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan
pemerintah pusat. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah
sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi : politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, yustisi (peradilan), moneter dan fiskal nasional serta agama. Dengan
demikian selain kelima urusan tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Pada dasarnya ada
hubungan yang sangat signifikan antara otonomi daerah dengan penanggulangan
kemiskinan. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah maka pemerintah daerah diberi kepercayaan peran yang sangat
besar dengan dukungan sumber pendapatan daerah, baik melalui pendapatan asli
daerah maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat. Otonomi daerah juga memberi
keleluasaan pemerintah daerah untuk merencanakan, melaksanakan, mengendalikan
dan mengevaluasi program atas kebijakan pemerintah daerah. Dalam era otonomi
luas ini menuntut jajaran pemerintah daerah dapat mengambil peran yang lebih
besar dalam upaya mempercepat pengentasan kemiskinan. Dengan peran yang lebih
besar pada pemerintah daerah ini maka peran pemerintah pusat makin bergeser
pada hal-hal yang bersifat konsepsional.
Berdasarkan kebijakan
nasional telah dikembangkan visi pembangunan bidang kesejahteraan dalam
mengatasi kemiskinan yaitu membangun masyarakat yang maju dan sejahtera, sehat
dan mandiri, serta bebas dari kemiskinan dan mampu mengatasi bencana karena
sadar siap mengatasinya. Disamping itu juga dikembangkan prioritas pembangunan
di bidang kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan, yaitu : pertama
pengembangan sumber daya manusia terutama pemberdayaan anak-anak dan wanita,
kedua menanggulangi kemiskinan melalui proses pemberdayaan dan mempermudah
akses keluarga miskin terhadap kesempatan berusaha, modal dan pemasaran
produk-produk yang dihasilkan, ketiga penanganan bencara dan musibah (Kaloh,
2007 : 246).
Dalam Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 telah diamanatkan tugas dan sebagian urusan pemerintahan
diserahkan kepada daerah melalui desentralisasi kewenangan dan memperkuat
otonomi daerah. Dalam kaitan pelaksanaan desentralisasi berarti juga
menyerahkan proses pembangunan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin
dalam upaya menolong dirinya sendiri.
Menurut Kaloh (2007 :
247) program-program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara terpadu,
bukan saja pada proses perencanaan tetapi pada sasaran yang disesuaikan dengan
karakteristik dari masing-masing wilayah tersebut. Hal ini sebagai
penyempurnaan pendekatan yang selama ini telah dilaksanakan dengan penyeragaman
suatu program pembangunan di semua wilayah Indonesia tanpa menghiraukan
kondisi-kondisi yang melingkupinya. Dengan adanya model keterpaduan program
mengatasi kemiskinan yang lebih spesifik maka nilai tambah dari suatu program
akan semakin besar.
2.
Perubahan Penerimaan Daerah & Peranan Pendapatan
Asli Daerah
Memperhatikan berbagai hasil
kajian para ahli menunjukkan bahwa otonomi daerah selama ini tergolong sangat
kecil dilihat dari indikator kecilnya kewenangan, jumlah bidang pemerintahan,
dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimiliki daerah (Hoessein, 2000 :3). Hal
ini merupakan gambaran dari praktek pemerintahan masa lalu yang dilandasi oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dengan berpegang pada Undang-undang tersebut,
maka praktek yang terjadi di lapangan berupa sentralisasi kekuasaan yang sangat
kuat, sehingga masyarakat di daerah tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan
untuk mengaktualisasikan kepentingan dan potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo,
2000 : 574).
Pada masa sekarang ini dengan
perubahan paradigma pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah pusat
mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah pada posisi yang sebenarnya,
yaitu bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah
tersebut mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain.
Kewenangan yang begitu luas
tentunya akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk
menjalankan kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa daerah
harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi
kewenangannya Sejalan dengan hal tersebut, Koswara (2000 : 5) menyatakan bahwa
daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali
sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri
yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus
menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan
keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan
negara.
Isyarat bahwa PAD harus menjadi
bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan
bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam
menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di samping itu PAD juga
mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso (1995 : 20)
mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang
merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran
daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan
indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.
Pendapatan Asli Daerah meskipun
diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,
pada saat ini kondisinya masih kurang memadai. Dalam arti bahwa proporsi yang
dapat disumbangkan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif
rendah. Apabila diamati lebih jauh, maka dapat dilihat di mana sebenarnya letak
kecilnya nilai PAD suatu daerah. Untuk mengetahui hal ini perlu diketahui
terlebih dahulu unsur-unsur yang termasuk dalam kelompok PAD. Dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari :
a.
Hasil pajak daerah
b.
Hasil retribusi daerah
c.
Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah lainnya yang dipisahkannya
d.
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
3.
Pembangunan Ekonomi Regional
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan
yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu
negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada
peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten, atau
kota.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk
suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk
menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain
menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau
mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran.
Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada
penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan
daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia,
kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini
mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari
daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan kesempatan kerja
baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses, yaitu proses
yang mencakup pembentukan institusi - institusi baru, pembangunan indistri -
industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk
menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru,
alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan
utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat
daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan
masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah.
Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi masyarakatnya dan dengan
menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi
sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
4.
Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan
a.
Konsentrasi Kegiatan ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di
daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi
kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat
ekonomi yang rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan
ekonomi yang lebih rendah.
Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam pembanguna
ekonomi nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi hanya
terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah yang
sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau
prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya
sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari
daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang sangat
lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa
mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak
dinikmati di Jawa.
b.
Alokasi Investasi
Indikator lain juga yang menunjukkan pola serupa
adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri
(PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi
Harrod-Domar, bahwa krangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan
tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah,
karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti industri
manufaktur.
Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh
banyak faktor seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini
(terutama sebelum pelaksanaan otonomi daerah daerah), konsentrasi penduduk di
Jawa dan keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran
sumber daya alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang
terbatas dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka
waktu yang relatif lama.
c.
Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah
Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah
pertanda semakin majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan
ilegal. Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya
naik ke posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas).
Fenomena “move up the ladder” ini dengan
sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun
demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini
sangat substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada
di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah.
Salah satu pilar ekonomi liberal adalah kebebasan
mobilitas faktor produksi, termasuk faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi
administratif negara tidak menjadi penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap
saja perpindahan ini perlu ditinjau dan dikontrol agar tetap teratur.
d.
Perbedaan SDA antar Provinsi
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa
pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya
lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya samapai
dengan tingkat tertebntu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA
dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Namun, belum tentu juga daerah
yang kaya akan SDA akan mempunyai tingkat pembanguan ekonomi yang lebih tinggi
juga jika tidak didukung oleh teknologi yang ada
e.
Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu
dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi
oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini
biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
f.
Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga
menyebabkan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya
ketidaklancaran tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan
komunikasi. Perdagangan antarprovinsi meliputi barang jadi, barang modal, input
perantara, dan bahan baku untuk keperluan produksi dan jasa. Ketidaklancaran
perdagangan ini mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan lewat sisi permintaan
(Demand) dan sisi penawaran (Supply). Dari sisi permintaan, kelangkaan akan
barang dan jasa akan berdampak juga pada permintaan pasar terhadap
kegiatan eonomi lokal yang sifatnya komplementer dengan barang tersebut.
Sedangkan dari sisi penawaran, sulitnya memperoleh barang modal seperti mesin,
dapat menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu provinsi menjadi lumpuh,
selanjutnya dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.
5. Pembangunan Indonesia Bagian Timur
Hasil pembangunan
ekonomi nasional selama pemerintahan orde baru menunjukkan bahwa walaupun
secara nasional laju pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata per tahun tinggi
namun pada tingkat regional proses pembangunan selama itu telah menimbulkan
suatu ketidak seimbangan pembangunan yang menyolok antara indonesia bagian
barat dan indonesia bagian timur. Dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan
sosial, indonesia bagian timur jauh tertinggal dibandingkan indonesia bagian
barat.
Tahun 2001 merupakan
tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan secara serentak
diseluruh wilayah indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah diharapakan dapat
menjadi suatu langkah awal yang dapat mendorong proses pembangunan ekonomi di
indonesia bagian timur yang jauh lebih baik dibanding pada masa orde baru.
Hanya saja keberhasilan pembangunan ekonomi indonesia bagian timur sangat
ditentukan oleh kondisi internal yang ada, yakni berupa sejumlah keunggunlan
atau kekeuatan dan kelemahan yang dimiliki wilayah tersebut.
Keunggulan atau
kekuatan yang dimiliki Indonesia bagian timur adalah sebagai berikut:
a. Kekayaan
sumber daya alam
b. Posisi
geografis yang strategis
c. Potensi
lahan pertanian yang cukup luas
d. Potensi
sumber daya manusia
Sebenarnya dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki
indonesia bagian timur tersebut, kawasan ini sudah lama harus menjadi suatu
wilayah di Indonesia dimana masyarakatnya makmur dan memiliki sektor pertanian,
sektor pertambangan, dan sektor industri manufaktur yang sangat kuat. Namun
selama ini kekayaan tersebut disatu pihak tidak digunakan secara optimal dan
dipihak lain kekayaan tersebut dieksploitasi oleh pihak luar yang tidak memberi
keuntungan ekonomi yang berarti bagi indonesia bagian timur itu sendiri.
Kelemahan Wilayah Indonesia Bagian Timur
Indonesia bagian tinur juga memiliki
bagian kelemahan yang membutuhkan sejumlah tindakan pembenahan dan perbaikan.
Kalau tidak, kelemahan-kelemahan tersebut akan menciptakan ancaman bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi di kawasan tersebut. Kelemahan yang dimiliki
Indonesia bagian timur diantaranya adalah:
a.
Kualitas sumber daya manuasia yang
masih rendah
b.
Keterbatasan sarana infrastruktur
c.
Kapasitas kelembagaan pemerintah dan
publik masih lemah
d.
Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan masih rendah
6. Teori & Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan
potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap
wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah
zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah
pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah
daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat
terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau
lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang
dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster.
Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah
salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan
ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
a. Membangun
setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi
intinya.
b. Menciptakan
proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan
c. Memberikan
peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya
dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat
concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah
berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis
yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan
dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan
oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara
dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi
mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa
pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak
seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang
perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri
tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait
dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama
pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model
pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang
menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang
perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi inti (core competiton).
Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu
zona/kluster untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti
menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian
sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi
pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sumber Referensi :
SOAL BAB VI
1. Undang
– Undang yang membahas tentang pemerintah daerah diberi kepercayaan peran yang
sangat besar dengan dukungan sumber pendapatan daerah, baik melalui pendapatan
asli daerah maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat adalah …
a.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
b.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004*
c.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
d.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999
2. Menurut
UU No.32 Tahun 2004 mengenai kewenangan daerah bahwa pemerintah daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannnya, dipertegas
lagi dalam pasal …
a.
10 ayat (1)*
b.
10 ayat (2)
c.
1 ayat (10)
d.
1 ayat (5)
3. Pendapatan
Asli Daerah merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan
modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah. Pendapat yang dikemukakan oleh …
a.
(Mardiasmo, 2000 : 574)
b.
(Hoessein, 2000 :3)
c.
(Koswara, 2000 : 5)
d.
(Santoso, 1995 : 20)*
4. Dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari beberapa
penghasilan, yang bukan termasuk adalah …
a. Hasil
pajak daerah
b. Hasil
retribusi daerah
c. Hasil
pajak perseorangan*
d. Hasil
perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkannya
5.
Keunggulan atau kekuatan yang dimiliki
Indonesia bagian timur adalah sebagai berikut, kecuali …
a.
Kekayaan sumber daya alam
b.
Posisi geografis yang strategis
c.
Potensi lahan pertanian yang cukup luas
d.
Potensi sumber daya manusia masih
rendah*
BAB VII
SEKTOR PERTANIAN
1.
Sektor Pertanian Indonesia
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang
paling tahan terhadap fluktuasi ekonomi internasional. Pasca krisis ekonomi
1997, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil banyak berpengaruh pada
siklus ekonomi. Saat investasi, manufaktur, dan indikator runtuh, ternyata
pertanian tetap bertahan karena kebutuhan dan keberadaannya menjadi pokok utama
ekonomi rakyat.
Pengaruh
sektor pertanian dan perkebunan sangat erat dengan perekonomian Indonesia.
Sebagai contoh, implikasi serius dari naiknya harga beras bukan hanya pada
persoalan mikro. Harga beras yang melonjak akan memicu inflasi. Bulan November
2006, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengumumkan bahwa untuk pertama kalinya
ekonomi Indonesia tidak lagi overheated, karena inflasi bisa
diredam sampai satu digit. Menjaga keseimbangan harga dan stok harus
diperhatikan. Jika inflasi naik lagi maka itu merupakan pertanda bahwa
stabilitas nasional akan terganggu.
Faktor
eksternal yang bisa membuat sektor pertanian hancur, misalnya serbuan impor dan
penyelundupan. Faktor tersebut harus diperketat karena negara sangat dirugikan
dengan penyelundupan komoditas seperti gandum, kedelai, jagung, beras yang
diperkirakan mencapai jutaan ton per tahun.
Di
sektor perkebunan pernah terjadi hambatan dalam ekspor minyak kelapa
sawit ke India karena adanya ketentuan beta karoten yang diberlakukan
pemerintah India sejak Agustus 2003. Hal ini dikarenakan 90% minyak kelapa
sawit Indonesia tidak memenuhi kadar beta karoten 500-2500mg/kg yang ditentukan
India. Permasalahan pada pertanian dan perkebunan hendaknya menjadi koreksi
untuk masa depan perekonomian Indonesia. Hal ini tentu mempengaruhi
perekonomian bangsa, karena pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama
dalam perekonomian.
Sektor pertanian
mengkontribusikan terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional dalam 4
bentuk yaitu:
a. Kontribusi
Produk, Penyediaan makanan untuk penduduk, penyediaan bahan baku untuk industri
manufaktur seperti industri: tekstil, barang dari kulit, makanan dan minuman.
b. Kontribusi
Pasar, Pembentukan pasar domestik untuk barang industri dan konsumsi.
c. Kontribusi
Faktor Produksi, Penurunan peranan pertanian di pembangunan ekonomi, maka
terjadi transfer surplus modal dan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor
lain.
d. Kontribusi
Devisa, Pertanian sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (NPI)
melalui ekspor produk pertanian dan produk pertanian yang menggantikan produk
impor.
2.
Nilai Tukar Petani
Nilai Tukar Petani merupakan salah satu indikator untuk
mengukur tingkat kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani
(NTP) adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan
indeks harga yang dibayar petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase. Secara
konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk)
pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk
konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian.
Secara umum NTP menghasilkan 3
pengertian :
a. NTP
> 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu lebih baik dibandingkan dengan
NTP pada tahun dasar.
b.
NTP
= 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu sama dengan NTP pada tahun dasar.
c.
NTP
< 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu menurun dibandingkan NTP pada
tahun dasar.
3.
Investasi di sektor Pertanian
Sektor pertanian adalah
salah satu sektor penting dalam pergerakan perekonomian di Indonesia, terutama
pada perekonomian pedesaan. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah rendahnya
perkembangan investasi dibidang pertanian, terutama spesifikasi pada investasi
bidang pertanian dalam arti sempit. Salah satu sektor penunjang yang dapat
menjadi indikator investasi adalah sektor perbankan.
Berdasarkan data posisi
pinjaman investasi yang diberikan oleh sektor perbankan (baik bank pPersero,
Bank Perkreditan Rakyat, Bank Pemerintah Daerah, Bank Swasta Nasional, Bank
Swasta Asing, dan Bank Campuran)kepada sektor pertanian, perikanan, peternakan,
dan kehutanan, tren pemberian modal investasi pada tahun 2005-januari 2011
cenderung stagnan. Pada Bank Persero, pemberian pinjaman investasi mengalami
peningkatan(dalam miliar rupiah) dari 7.579 pada 2005 atau 19.18% menjadi
28.307 pada januari 2011 atau 31.5%. sektor pertanian, peternakan, perikanan
dan kehutanan mendapatkan jumlah dan proporsi terbesar dalam penyaluran kredit
investasi. Namun, peningkatan ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan
peningkatan pada sektor listrik, gas, dan air bersih yang mendapatkan proporsi
sebesar 0.2% pada 2005 dan meningkat menjadi 9% pada 2011.
4.
Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur
Salah satu penyebab
krisis ekonomi kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pertanian. Hal ini
terlihat bahwa laju pertumbuhan sector pertanian (+) walaupun kecil, sedangkan
industri manufaktur (-). Jepang, Taiwan & Eropa dalam memajukan industri
manufaktur diawali dengan revolusi sector pertanian.
Alasan sector pertanian
harus kuat dalam proses industrialisasi:
a. Sektor
pertanian kuat pangan terjamin tidak ada lapar kondisi sospol stabil
b.
Sudut Permintaan Sektor pertanian kuat
pendapatan riil perkapita naik
permintaan oleh petani thd produk industri manufaktur naik berarti
industri manufaktur berkembang & output industri menjadi input sektor
pertanian
c.
Sudut Penawaran permintaan produk
pertanian sebagai bahan baku oleh industri manufaktur.
d. Kelebihan
output siktor pertanian digunakan sebagai investasi sektor industri manufaktur
seperti industri kecil dipedesaan.
Kenyataan di Indonesia
keterkaitan produksi sektor pertanian dam industri manufaktur sangat lemah dan
kedua sektor tersebut sangat bergantung kepada barang impor.
Sumber Referensi :
SOAL BAB VII
1. Sektor
pertanian mengkontribusikan terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
nasional sebagai berikut …
a.
Kontribusi Produk, Kontribusi Pasar,
Kontribusi Faktor Produksi, Kontribusi Devisa*
b.
Kontribusi Produk, Kontribusi Devisa,
Kontribusi Distribusi, Kontribusi Konsumsi
c.
Kontribusi Pasar, Kontribusi Produk,
Kontribusi Faktor Produksi, Kontribusi Konsumsi
d.
Kontribusi Pasar, Kontribusi Devisa,
Kontribusi Distribusi, Kontribusi Faktor Produksi
2. Nilai Tukar Petani merupakan salah
satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Cara
perhitungan NTP adalah …
a.
rasio
antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar
petani (IB) yang dinyatakan dalam diagram
b.
rasio
antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar
petani (IB) yang dinyatakan dalam grafik
c.
rasio
antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar
petani (IB) yang dinyatakan dalam perbandingan
d.
rasio
antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar
petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase*
3.
NTP pada suatu periode tertentu
menurun dibandingkan NTP pada tahun dasar. Hal tersebut merupakan pengertian
hasil NTP secara umum apabila …
a.
NTP > 100
b.
NTP = 100
c.
NTP < 100*
d.
NTP = > 100
4.
Sektor
pertanian adalah salah satu sektor penting dalam pergerakan perekonomian di
Indonesia, terutama pada perekonomian pedesaan. Sebagai sektor penunjang
permasalahan yang terjadi saat ini adalah …
a.
Tingginya
perkembangan daya saing
b.
Rendahnya
perkembangan investasi*
c.
Rendahnya
perkembangan teknologi
d.
Tingginya perkembangan investasi
5.
Kenyataan di Indonesia keterkaitan sektor
pertanian dengan industry manufaktur sangat lemah, hal ini sebabkan karena …
a.
Kedua
sektor tersebut sangat bergantung kepada barang impor*
b.
Kedua
sektor tersebut sangat bergantung kepada barang ekspor
c.
Kedua
sektor tersebut sangat bergantung kepada kualitas SDA
d.
Kedua
sektor tersebut sangat bergantung kepada keahlian SDM
BAB VIII
INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
1.
Konsep & Tujuan Industrialisasi
Konsep
Industrialisasi
Industri adalah bidang
mata pencaharian yang menggunakan ketrampilan dan ketekunan kerja (bahasa
Inggris: industrious) dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil
bumi dan distribusinya sebagai dasarnya. Maka industri umumnya dikenal sebagai
mata rantai selanjutnya dari usaha-usaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang
berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah pertanian, perkebunan dan pertambangan
yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan industri semakin jauh dari tanah,
yang merupakan basis ekonomi, budaya dan politik.
Awal konsep
industrialisasi revolusi industry abad 18 di Inggris adalah dalam pemintalan
dan produksi kapas yang menciptakan spesialisasi produksi. Selanjutnya penemuan
baru pada pengolahan besi dan mesin uap sehingga mendorong inovasi baja,dan
begitu seterusnya, inovasi-inovasi bar uterus bermunculan. Industri merupakan
salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi.
Tujuan
Industrialisasi
Tujuan industrialisasi
itu sendiri adalah untuk memajukan sumber daya alam yang dimiliki oleh setiap
Negara, dengan didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
2.
Faktor-Faktor Pendorong Industrialisasi
Berikut adalah faktor –
faktor pendorong industrialisasi antara lain :
a. Kemampuan
teknologi dan inovasi
b. Laju
pertumbuhan pendapatan nasional per kapita
c. Kondisi
dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Negara yang awalnya memiliki industri
dasar/primer/hulu seperti baja, semen, kimia, dan industri tengah seperti mesin
alat produksi akan mengalami proses industrialisasi lebih cepat
d. Besar
pangsa pasar DN yang ditentukan oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk.
Indonesia dengan 200 juta orang menyebabkan pertumbuhan kegiatan ekonomi
e. Ciri
industrialisasi yaitu cara pelaksanaan industrialisasi seperti tahap
implementasi, jenis industri unggulan dan insentif yang diberikan.
f. Keberadaan
SDA. Negara dengan SDA yang besar cenderung lebih lambat dalam industrialisasi
g. Kebijakan/strategi
pemerintah seperti tax holiday dan bebas bea masuk bagi industri orientasi
ekspor.
3.
Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional
Perusahaan manufaktur
merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan
industri manufaktur di sebuah negara juga dapat digunakan untuk melihat
perkembangan industri secara nasional di negara itu. Perkembangan ini dapat
dilihat baik dari aspek kualitas produk yang dihasilkannya maupun kinerja
industri secara keseluruhan.
Sejak krisis ekonomi
dunia yang terjadi tahun 1998 dan merontokkan berbagai sendi perekonomian
nasional, perkembangan industri di Indonesia secara nasional belum
memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan perkembangan industri
nasional, khususnya industri manufaktur, lebih sering terlihat merosot
ketimbang grafik peningkatannya.
Sebuah hasil riset yang
dilakukan pada tahun 2006 oleh sebuah lembaga internasional terhadap prospek
industri manufaktur di berbagai negara memperlihatkan hasil yang cukup
memprihatinkan. Dari 60 negara yang menjadi obyek penelitian, posisi industri
manufaktur Indonesia berada di posisi terbawah bersama beberapa negara Asia,
seperti Vietnam. Riset yang meneliti aspek daya saing produk industri
manufaktur Indonesia di pasar global, menempatkannya pada posisi yang sangat
rendah.
Industri manufaktur
masa depan adalah industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, yang
didasarkan tidak hanya kepada besarnya potensi Indonesia (comparative
advantage), seperti luas bentang wilayah, besarnya jumlah penduduk serta
ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga berdasarkan kemampuan atau daya
kreasi dan keterampilan serta profesionalisme sumber daya manusia Indonesia
(competitive advantage).
4.
Permasalahan Industrialisasi
Indonesia adalah negara yang besar
dengan jumlah penduduk yang besar pula, hal ini bisa menjadi salah satu faktor
pertumbuhan industri di negara ini, tetapi berbagai isu- isu yang berkembang
sebagai salah satu dampak era globalisasi sangat berpengaruh terhadap iklim
industri di Indonesia. Kendala dan permasalahan yang terjadi itu antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Konsentrasi Industri Secara Geografis
Industri Indonesia terkonsentrasi secara
geografis ke Kabarin (Kawasan Barat Indonesia), yaitu Jawa dan Sumatra. Pembangunan
industri dan aktivitas bisnis Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa
terakhir cenderung bias ke pulau Jawa dan Sumatra. Industri manufaktur Indonesia
cenderung terkonsentrasi secara spasial di Jawa sejak tahun 1970-an (Aziz,
1994, Hill, 1990). dengan kondisi ini,daerah-daerah lain seakan-akan menjadi
daerah yang di anak tirikan,padahal di indonesia memiliki 5 pulau besar yang ke
semuanya memiliki potensi untuk di jadikan sebagai kawasan industri. Tidak
meratanya pembangunan industri di indonesia menyebabkan dampak sentralisasi
yang juga akan menyebabkan kepadatan penduduk di suatu daerah.
b. Tingginya impor di Indonesia
Hampir semua industri Indonesia memiliki
kandungan impor (import content) bahan baku dan bahan setengah jadi yang
relatif tinggi. Import content industri padat modal lebih tinggi daripada industri
padat karya. Tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen
untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-30 persen antara tahun
1993-2002.
Inilah yang barangkali menjelaskan mengapa melemahnya nilai rupiah terhadap dolar
tidak langsung menyebabkan kenaikan ekspor secara signifikan.
Inilah yang barangkali menjelaskan mengapa melemahnya nilai rupiah terhadap dolar
tidak langsung menyebabkan kenaikan ekspor secara signifikan.
Relatif tingginya kandungan impor bahan
baku dan penolong mencerminkan bahwa upaya peningkatan pendalaman
industri masih perlu digalakkan. Dengan kata lain, industri pendukung dan
terkait, khususnya industri komponen dan hulu, masih belum kokoh dalam
menopang struktur industri Indonesia. Implikasinya, strategi substitusi impor
untuk industri andalan Indonesia agaknya perlu diprioritaskan. Sebenarnya pihak
pemerintah dalam hal ini sudah melakukan berbagai macam cara,di antaranya yaitu
dengan melaksanakan program padat karya,ataupun berbagai program yang di
lakukan oleh pemerintah,yaitu dinas koperasi dan UKM.
c. Dualisme Industri
Dualisme industri Indonesia terus
berlanjut: Industri kecil mendominasi dari sisi unit usaha (99%) dan
penyerapan tenaga kerja (60%), namun menyumbang hanya 22% terhadap nilai
tambah. Sebaliknya industri besar dan menengah,yang jumlah unit usahanya hanya
kurang dari 1%, menyerap tenaga kerja 40% dan menyumbang nilai tambah
78%.Sementara itu, kontribusi UKM thd PDB sebesar 54-57%, sedang UB sekitar 42-46%
selama tahun 2002-2005.
d. Belum Membaiknya Iklim Investasi
Iklim investasi di Indonesia masih
memiliki banyak kendala. Selama 2003 hingga 2006, kendala terbesar bagi para
pelaku bisnis adalah ketidakstabilan kondisi ekonomi makro dan ketidakpastian
kebijakan ekonomi cenderung menurun. Artinya, pelaku bisnis melihat adanya
perbaikan lingkungan makro dan kebijakan ekonomi. Namun, kendala lain yang
cenderung memburuk adalah infrastruktur (transportasi dan listrik), tenaga
kerja (regulasi ketenagakerjaan nasional maupun daerah, keterampilan dan
pendidikan pekerja). Kendala yang cenderung membaik di mata pelaku bisnis
adalah kebijakan perdagangan dan bea cukai, akses terhadap modal, keamanan,
perizinan baik nasional maupun lokal, biaya modal, tarif dan administrasi
pajak, konflik dan sistem hukum, dan korupsi pada skala lokal maupun nasional.
e. Ekonomi Biaya Tinggi
Berbagai pungutan, baik resmi maupun
liar, yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas, pejabat, dan preman
masih berlanjut. Berdasarkan survei di Batam, Jabotabek, Bandung-Cimahi, Jepara-Pati,
Surabaya-Sidoarjo, Denpasar, Kuncoro et al. (2004) menunjukkan masih adanya
uang pelicin (grease money) dalam bentuk pungli,upeti dan biaya ekstra yang
harus dikeluarkan oleh perusahaan dari sejak mencari bahan baku, memproses
input menjadi output, maupun melakukan ekspor. Lebih dari separuh responden
berpendapat bahwa pungli, perijinan oleh pemerintah pusat dan daerah, kenaikan
tarif (BBM, listrik, dll.) merupakan kendala utama yang dihadapi para
pengusaha, terutama yang berorientasi ekspor.
5.
Strategi Pembangunan Sektor Industrialisasi
Strategi
substitusi impor (Inward Looking)
Bertujuan mengembangkan industri
berorientasi domestic yang dapat menggantikan produk impor. Negara yang menggunakan
strategi ini adalah Korea & Taiwan. Pertimbangan menggunakan strategi ini:
a.
Sumber
daya alam & Faktor produksi cukup tersedia
b.
Potensi
permintaan dalam negeri memadai
c.
Sebagai
pendorong perkembangan industri manufaktur dalam negeri
d.
Kesempatan
kerja menjadi luas
e.
Pengurangan
ketergantungan impor, sehingga defisit berkurang
Strategi
promosi ekspor (Outward Looking)
Beorientasi ke pasar internasional dalam
usaha pengembangan industri dalam negeri yang memiliki keunggulan bersaing. Rekomendasi
agar strategi ini dapat berhasil :
a.
Pasar
harus menciptakan sinyal harga yang benar yang merefleksikan kelangkaan barang
yang bisa baik pasar input maupun output.
b.
Tingkat
proteksi impor harus rendah.
c.
Nilai
tukar harus realistis.
d.
Ada
insentif untuk peningkatan ekspor.
Sumber Referensi :
SOAL BAB VIII
1. Awal
konsep industrialisasi revolusi industry abad 18 di Negara …
a. Amerika
b. Jerman
c. Inggris*
d. Belanda
2. Berikut
yang tidak termasuk faktor-faktor pendorong industrialisasi adalah …
a. Kemampuan
teknologi dan inovasi
b. Laju
pertumbuhan pendapatan nasional per kapita
c. Kondisi
dan struktur awal ekonomi dalam negeri
d. Laju
pertumbuhan penduduk miskin*
3. Akibat
dari revolusi industry oleh Negara Inggris terhadap dunia yaitu, kecuali …
a. Munculnya
paham sosialisme*
b. Industrialisasi
besar-besaran dan urbanisasi
c. Timbulnya
kaum borjuis
d. Kapitalisme
modern semakin berkembang
4. Permasalahan
Industrialisasi di Indonesia terjadi karena adanya beberapa kendala. Yang bukan
termasuk adalah …
a. Ketidakstabilan kondisi ekonomi makro
dan ketidakpastian kebijakan ekonomi cenderung menurun.
b.
Tidak meratanya pembangunan industri di
indonesia menyebabkan dampak sentralisasi yang juga akan menyebabkan kepadatan
penduduk di suatu daerah.
c.
Dualisme industri Indonesia terus
berlanjut
d.
Tingginya tingkat ekspor barang dan
rendahnya tingkat impor barang*
5. Strategi
industri berorientasi domestic yang dapat menggantikan produk impor dapat
melakukan pertimbangan diantaranya …
a.
Peningkatan ketergantungan impor,
sehingga defisit bertambah
b.
Sumber daya alam & Faktor produksi
cukup tersedia*
c.
Tingkat proteksi ekspor harus rendah
d.
Ada insentif untuk peningkatan impor