Untuk
postingan kali ini saya akan membahas mengenai kepailitan. Sebenarnya apasih
kepailitan itu? Mungkin banyak orang yang belum memahami hal tersebut. Definisi
dari kepailitan itu menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan antara
lain, keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut
dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar
utang-utangnya. Sedangkan, kepailitan menurut UU Kepailitan diartikan sebagai
sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang.
A. Pengertian
Kepailitan
Pailit
dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi,
bangkrut. Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation,
likuidasi : pembubaran perusahaan diikuti dengan proses penjualan harta
perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta
atau utang antara pemegang saham.
Beberapa
definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan
Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi
antara lain: Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok
Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998
disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan
debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian
kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan
hak-hak mereka masing-masing”.
Berdasarkan
pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum
atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah
debitur yang sudah dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi.
B. Undang
– Undang Kepailitan
Di
Indonesia, peraturan mengenai kepailitan telah ada sejak tahun 1905. Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No. 4 Th.1998 pasal 1
ayat (1), yang menyebutkan : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor
dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan
seorang atau lebih kreditor. (Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan
dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta:Liberty, 1981), hal 42.)
Saat
ini, Undang-Undang yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
kepailitan adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”).
C. Syarat
dan Putusan Kepailitan
Bilamana
suatu perusahaan dapat dikatakan pailit, menurut UU Kepailitan adalah jika
suatu perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat-syarat
tersebut menurut Pasal 2 UU Kepailitan meliputi adanya debitor yang mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan. Kreditor dalam hal ini adalah kreditor baik konkuren, kreditor
separatis maupun kreditor preferen. Sedangkan utang yang telah jatuh waktu
berarti kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena
telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihan sesuai perjanjian
ataupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase. Permohonan
pailit menurut UU Kepailitan dapat diajukan oleh debitor, satu atau lebih
kreditor, jaksa, Bank Indonesia, Perusahaan Efek atau Perusahaan Asuransi.
Apabila diperinci maka Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan syarat - syarat kepailitan adalah
adanya Utang. Dalam proses acara kepailitan konsep utang adalah sangat
menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan
akan bisa diperiksa. Tanpa adanya utang tersebut, maka esensi kepailitan tidak
ada karena kepailitan merupakan pranata hukum utuk melakukan likuidasi aset
debitor untuk membayar utang–utangnya terhadap para kreditornya. Dengan
demikian, utang merupakan raison d’etre dari suatu kepailitan. Ned
Waxman mengatakan, “ The concept of a claim is significant in determining
which debts are discharged and who share in distribution “ (M. Hadi
Shubhan, 2008 : 34).
Keterbatasan pengetahuan perihal ilmu hukum
khususnya hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga istilah pailit
yang jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan bawah maupun pedesaan yang
lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut lebih kenal. Masyarakat desa
tidak berpikir untuk memohon ke pengadilan agar dirinya dinyatakan pailit. Para
pedagang kecil jika ia sudah tidak dapat berdagang lagi, karena modalnya habis
dan ia tidak dapat membayar utang-utangnya, lalu ia mengatakan bahwa dirinya
sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi perusahaan/pedagang besar,
pengertian istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka ketahui.
Dengan adanya pengumuman putusan pernyataan
pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan pasal 113 kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atas seluruh harta kekayaan debitor pailit, yang berlaku umum bagi
semua kreditor konkuren dalam kepailitan, tanpa terkecuali untuk memperoleh
pembayaran atas seluruh piutang-piutang konkuren mereka. Yang dapat dinyatakan
pailit adalah :
- “Orang
Perseorang” baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun
belum menikah. Jika permohonan pernyataaan pailit tersebut diajukan oleh debitor
perseorang yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat
diajukan atas persetujuan suami”, kecuali antara suami isteri tersebut
tidak ada pencampuran harta.
- “Perserikat-perserikatan
atau perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya “Permohonan pernyataan
pailit terhadap suatu firma harus membuat nama dan tempat kediaman
masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh
utang firma.
- “Perseroan-perseoran,
perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum
sebagaimana diatur dalamanggaran dasarnya.
D. Pihak -
Pihak Yang Dapat Meminta Pailit
Adanya putusan kepailitan dari pengadilan
lebih menjamin kepastian hukum dan adanya penyelesaian yang adil sehingga mengikat,
oleh karena akan diberikan kewenangan oleh pengadilan kepada kurator atau hakim
pengawasan untuk menilai apakah benar-benar tidak mampu membayar
hutang-hutangnya.
Kemudian guna melindungi kepentingan kreditor
agar kekayaan atau harta benda si debitor kepada pihak lain, maka setiap
kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebelum ditetapkan
seperti tercantum pada pasal 7 ayat (7) sub a dan b Undang-undang No. 4 Tahun
1998 untuk:
- Meletakkan
sita jaminan terhadap sebagian atau seluruhnya kekayaan debitor,
atau
- Menunjukkan
kurator sementara untuk:
·
Mengawasi pengelola usaha debitor.
·
Mengawasi pembayaran kepada kreditor, yang dalam rangka kepailitan memerlukan
kurator. (J. Djohansyah, Pengadilan Niaga,(Bandung,: Alumni, 2001),hal 21.)
Disamping itu diharapkan dengan lahirnya
Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan bermaksud memberikan
kesempatan kepada pihak kreditor ataupun debitor untuk mengupayakan
penyelesaian yang adil dan mengikat serta sesuai dengan putusan pengadilan
terhadap utang piutang mereka. Ketentuan pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998
menyebutkan pihak-pihak yang meminta pailit yaitu:
- Debitor yang
mempunyai dua atau lebih kreditor dan membayar sedikitnya satu utang yang
telah jatuh tempo yang dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan yang berwenang sebagaimana yang dimaksud pada pasal 2, baik
atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
kreditor.
- Permohonan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dapat juga diajukan kejaksaan untuk
kepentingan umum.
- Menyangkut
debitor yang merupakan Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia.
- Dalam hal
menyangkut debitor merupakan perusahaan efek, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM) (Adrian
Sutedi, Hukum Kepailitan,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009),hal 73.)
E. Contoh
Perusahaan yang Pailit
Pada prakteknya, Pengadilan Niaga telah
mengeluarkan peryataan pailit tanpa kehadiran debitur atau si termohon pailit,
yaitu pada kasus PT. Inter Banking Bisnis Terencana (PT. IBIST). Kasus ini
berawal sejak Oktober dan November 2006 dimana Ibist Consult tidak membayar
bunga utang yang seharusnya dibayarkan kepada para kreditornya, hal inilah yang
membuat Umar Sesko Adriansyah, Achmad Adipati Karnawijaya dan Bosco Haryo
Yunanto selaku kreditor Ibist Consult mengajukan permohonan pailit atas Ibist
Consult di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sejak awal permohonan pailit
disidangkan, management Ibist Consult belum juga hadir di persidangan memenuhi
panggilan pengadilan, sampai pada saat majelis hakim mengabulkan permohonan
pailit dan menyatakan Ibist Consult pailit dengan segala akibat hukumnya.
Putusan itu diambil tanpa kehadiran termohon (verstek) karena Direktur Utama
dalam status Daftar Pencarian Orang dan Direktur Keuangan perusahaan terebut
sedang ditahan polisi, pada tanggal 24 Januari 2006 dengan Nomor Putusan
55/PAILIT/2006/PN.NIAGA/JKT.PST. Dalam kasus kepailitan PT. Ibist di atas,
hakim Pengadilan Niaga memutus perkara tersebut secara verstek. Suatu perkara
yang diputus secara verstek harus ada upaya hukum verzet, akan tetapi dalam
perkara kepailitan tidak disediakan upaya hukum tersebut, upaya hukum yang
disediakan adalah Kasasi dan Peninjauan Kembali. Dengan adanya hal tersebut
diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai tidak adanya
upaya hukum verzet setelah adanya putusan verstek yang diputus oleh mejelis hakim.
F. Usaha
– Usaha yang Dilakukan Untuk Menghindari Kepailitan
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan keuangan :
1. Pisahkan uang pribadi dan uang usaha
Pemisahan ini sangat penting agar dapat mengevaluasi
keuntungan bisnis. Bila uang hasil usaha dicampur dengan uang pribadi, maka
akan sulit untuk menghitung keuntungan dari bisnis. Sebisa mungkin ada rekening
khusus untuk usaha. Jangan gabungkan hasil usaha dengan rekening keuangan
pribadi. Jangan juga menggunakan uang usaha untuk keperluan pribadi. Andaikan
terpaksa, anggap sebagai piutang bisnis.
2. Buat pembukuan keuangan
Jika kurang begitu menguasai pembukuan
akuntansi, kita dapat merekrut seorang akuntan. Itu lebih baik daripada
melakukan kalkulasi rugi/laba tapi ternyata salah menghitung. Atau saat ini
sudah banyak software untuk membantu pebisnis dalam melakukan pembukuan.
3. Buat pembagian hasil usaha dengan jelas dan
konsisten
Tetapkan pembagian keuangan dengan tepat dan
proporsional. Ada bagian untuk biaya produksi, gaji karyawan, operasional
usaha, dan bagian untuk mengembangkan usaha. Selain itu sisihkan juga bagian
untuk masuk ke kantong pribadi yang bisa tabung.
Untuk pembagian ini tidak bisa ditentukan
secara baku. Berapa besar persentase yang dibagikan ke setiap porsi itu sangat
tergantung dari usaha yang kita jalankan. Yang pasti, harus konsisten dalam
melakukan pembagian tersebut. Jika ada yang tidak seimbang, maka evaluasi perlu
segera dilakukan.
Analisis:
Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena
yang sering terjadi disekitar lingkungan kita dan hukum perseroan yang sangat
ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena dengan
kepilitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis
atau setidaknya telah gagal dalam membayar hutang-hutangnya.
Jika perusahaan mengalami kasus yang seperti
ini, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan ini sudah tidak sehat, selain
perusahaan ini sudah tidak bisa menjalankan kegiatan usahanya, juga masih
memiliki tanggungan hutang pada pihak lain yaitu pihak yang memberikan pinjaman
tersebut.
Sumber Referensi :